RILIS PERS | dipublikasikan pada Nov 14, 2025 @ 10:37 WIB

Menembus Sungai Terbesar di Dunia, Pemuda Adat Indonesia Tuntut Keadilan Iklim di COP 30

Jakarta, 13 November 2025 – Sore itu, tepat sehari sebelum COP 30 dimulai (9 November), dari arah barat datanglah kapal besar bernama Yaku Mama Amazon Flotilla dan merapat di Belem, Brazil. Lebih dari 50 pemimpin yang adalah Pemuda Adat dari beberapa negara, terutama negara-negara Amerika Latin, turun dari kapal tiga tingkat tersebut. Mereka datang mewakili komunitas adatnya, menghadiri COP 30, dan ingin menyampaikan suara mereka terkait masyarakat adat beserta konflik yang mereka alami di komunitasnya.

Bersama mereka, tampak seorang Pemuda Adat asal Bengkulu, Hero Aprila. Ia datang mewakili Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Global Alliance of Territorial Communities (GATC). Hero menaiki kapal kayu ini dari Santarem, Brazil, menuju komunitas Masyarakat Adat yang berada di sekitar Sungai Amazon dan berakhir di Belem, sebagai bentuk solidaritas bagi teman-teman seperjuangannya di Amerika Latin.

Begini pengalaman Hero mencari keadilan iklim bagi Masyarakat Adat di tengah sungai terbesar di dunia.

Simbol pembawa pesan

Pada 8 Oktober 2025, ekspedisi Yaku Mama Amazon Flotilla dimulai dengan ritual adat dan mengunjungi komunitas Masyarakat Adat di Ecuador. Pada 16 Oktober 2025, kapal tersebut memulai perjalanannya menyusuri Sungai Amazon, termasuk anak-anak sungainya, sejauh lebih dari 3.000 kilometer. Berawal dari tepi Sungai Napo, Kota Coca, Ecuador, kapal tersebut melintasi Peru, Colombia, menuju Brazil. Yaku Mama, yang berarti Ibu Air, membawa banner bertuliskan ‘End Fossil Fuels – Climate Justice Now.’

Amazon merupakan rumah bagi sejumlah Masyarakat Adat, yang juga mempunyai peran dalam penyerapan karbon. Yaku Mama juga mempunyai nilai budaya tersendiri, dipandang sebagai roh pelindung semua sumber air, pemberi kehidupan bagi sekitarnya. Aksi Amazon Flotilla ini mengangkat isu ekstraksi minyak dan tambang yang mengancam wilayah adat di sana, sekaligus untuk melindungi kehidupan di alam Amazon.

Ekspedisi ini digagas oleh berbagai organisasi Masyarakat Adat dan komunitas lokal di kawasan Amazon. Dengan kedatangan yang terkesan teatrikal, tujuan utama mereka adalah menarik perhatian dunia, khususnya menjelang COP 30 agar kebijakan perubahan iklim lebih memperhatikan hak-hak Masyarakat Adat dan wilayah adat mereka.

“Kami dari Indonesia terlibat penuh sebagai peserta, sekaligus menunjukkan bentuk solidaritas bagi teman-teman di Amerika Latin. Persoalan yang mereka hadapi persis seperti apa yang terjadi juga di negara kita. Indonesia ikut bersuara dan berjuang bersama mereka,” kata Hero, yang merasa terkesima bisa berada di tengah Amazon dengan biodiversitasnya yang luar biasa.

Diskusi di tengah perjalanan

Hero bercerita, bersama teman-teman Pemuda Adat itu, mereka menyusun poin-poin penting yang akan disampaikan di COP 30. Dengan tegas ia menyatakan salah satu isu terpenting yang disuarakan oleh Pemuda Adat Indonesia adalah tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat melalui payung hukum yang disebut Undang-Undang Masyarakat Adat.

“Lebih dari satu dekade kami mendorong undang-undang tersebut. Itulah kenapa hal tersebut menjadi tuntutan utama dari Indonesia. Banyak sekali perampasan wilayah adat yang berujung pada kriminalisasi, intimidasi termasuk represivitas yang kami alami. Setelah itu, barulah kita berbicara tentang pendanaan langsung untuk Masyarakat Adat, hak atas tanah, pengetahuan leluhur, hingga perlindungan terhadap para pembela Masyarakat Adat,” kata Hero, kepada teman-teman Pemuda Adat dari berbagai negara, termasuk Amerika Latin.

Hero mengamati, Yaku Mama Amazon Flotilla lebih banyak mengedepankan masalah yang terjadi di negara-negara Amerika Latin. Seperti yang tertera pada banner, para pemuda adat ini menuntut penghentian ekstraksi bahan bakar fosil, misalnya minyak dan gas, di wilayah Amazon. Di samping itu, mereka menuntut pendanaan iklim untuk langsung ke masyarakat terkait.

Ketua Umum BPAN ini menyebutkan bahwa ia sendiri membawa tuntutan yang sudah disusun, dan akan ia sampaikan saat menjadi pembicara di salah satu forum COP 30. Forum itu seperti pembacaan Ikrar Masyarakat Adat di dalam Shandia Forum, beberapa agenda Youth Movement yang dimotori oleh GATC, hingga side event bertajuk the Global Youth Roadmap Youth Climate Justice Statement, dan Global Youth Network yang diselenggarakan oleh RRI.

“Saat kegiatan Global Youth Forum di Bali pada Agustus lalu, kami sudah menyusun tuntutan tersebut bersama-sama. Jadi, suara ini berangkat dari Bali menuju COP 30,” sambung Hero, menyebutkan bahwa bahasa menjadi kendala utama dalam berkomunikasi di sana.

Hadapi tantangan serupa

Dalam perjalanan dari Santarem menuju Belem, kapal sempat singgah di komunitas masyarakat adat Novo Carão. Dari titik merapatnya Yaku Mama Amazon Flotilla, Hero masih harus naik kapal dua kali lagi, lalu berjalan kaki sekitar 30 menit menuju area pedalaman. Hero bercerita, akses jalan menuju ke komunitas adat Novo Carão terbilang sulit.

“Kurang lebih sama dengan di Indonesia. Tak hanya terkait jalan, masalah lain yang dihadapi komunitas Masyarakat Adat di sini juga serupa. Mereka mengalami perampasan wilayah adat, dikriminalisasi saat membakar hutan untuk berladang. Meski anggota komunitasnya hanya sedikit, mereka yang tetap bertahan untuk memperjuangkan wilayah adatnya,” kata Hero, menyebutkan bahwa Novo Carão terbilang sangat sepi dengan beberapa orang penduduk saja.

Saat bertukar pengetahuan, Hero bercerita tentang salah satu kasus yang dialami oleh Masyarakat Adat di Indonesia, seperti masyarakat adat Talang Mamak, yang tinggal di aliran sungai Indragiri Hulu, Riau. Mereka punya tradisi membakar hutan untuk berkebun dan berladang. Praktik ini didasari oleh pengetahuan leluhur Masyarakat Adat Talang Mamak tentang cara membakar hutan sesuai dengan kebutuhan, tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan.

“Di sisi lain, membakar hutan tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan hukum. Rupanya, masalah yang sama juga dialami oleh masyarakat adat Novo Carão,” kata Hero, yang sempat mengikuti ritual saat bulan purnama bersama komunitas Masyarakat Adat di sana.

Hero menyadari, perjuangan masyarakat adat di Amazon dan Nusantara mengalir di arus yang sama, melawan ketidakadilan, menjaga tanah, dan menuntut dunia untuk mendengar mereka yang paling dekat dengan bumi.

***

 

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA (BPAN)

Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) adalah organisasi sayap AMAN yang berbentuk otonom, menjadi wadah berhimpun, kaderisasi, dan perjuangan solidaritas Pemuda Adat di seluruh nusantara. Anggotanya merupakan Pemuda Adat yang berusia 15–30 tahun yang berasal dari komunitas Masyarakat Adat di tujuh region Indonesia, dari Sumatera hingga Papua. BPAN dibentuk dalam Jambore Nasional Pemuda Adat Nusantara pada 27–31 Januari 2012 dan dideklarasikan pada 29 Januari 2012 di Curug Nangka, Bogor. Berlandaskan visi “Generasi muda adat bangkit bersatu bergerak mengurus wilayah adat,” BPAN hadir untuk memperkuat peran dan suara generasi muda adat dalam menjaga tanah dan identitasnya. pemudaadat.org

IG: pemuda_adat

Tentang JustCOP

Justice Coalition for Our Planet (JustCOP) adalah gabungan organisasi masyarakat sipil, peneliti, dan aktivis yang bekerja menuju keadilan iklim, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pemberdayaan komunitas asli dan rentan. JustCOP percaya bahwa kepemimpinan iklim yang sejati dimulai dengan keadilan, memastikan bahwa mereka yang paling terdampak oleh krisis memiliki suara dalam membentuk solusi.

Anggota JustCOP berkolaborasi di berbagai platform lokal, nasional, dan internasional, termasuk UNFCCC dan COP30, untuk mendorong kebijakan yang didasarkan pada integritas ekologi dan hak asasi manusia.

Web: https://justcop.org/

IG: justcop_

Go to Top