Jakarta, 13 November 2025 – Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi JustCOP mengkritik pemerintah Indonesia yang lebih fokus dan mengutamakan perdagangan karbon dalam perhelatan Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30- UNFCCC) yang berlangsung di Belém, Brasil. Kritikan itu disampaikan langsung dalam pertemuan dengan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq di sela-sela acara COP30 pada 12 November 2025.
Koalisi JustCOP menilai pemerintah Indonesia seharusnya lebih fokus agenda COP30 yang bisa menjawab krisis iklim pada saat ini. Rayhan Dudayev, Political Lead Global Forest Solution Greenpeace Asia Tenggara, mencontohkan seperti pendanaan iklim dari negara maju bagi negara-negara berkembang, risiko ketidakadilan global, perlindungan hutan dan keanekaragaman hayati, partisipasi bermakna dari komunitas dan pemuda dan lainnya.
“Pasar karbon bukan merupakan aksi iklim yang sesungguhnya. Berdasarkan Perjanjian Paris, mekanisme pasar hanya dilakukan untuk meningkatkan ambisi, bukan untuk mencapai ambisi karena risiko ketidakadilan global tetap tinggi. Tidak ada pilihan lain, fokus negosiasi harus melampaui mekanisme pasar jika Indonesia betul-betul ingin menanggulangi krisis iklim,” kata Rayhan.
Isu pendanaan iklim dari negara maju menjadi salah satu isu penting dalam negosiasi COP30. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres dan Sekretaris Eksekutif UNFCC Simon Stiell telah mendesak negara-negara maju segera menuaikan komitmen mereka sebesar US$ 1,3 trilun untuk pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang pada 2035 seperti yang disepakati di COP29 Baku, Azerbaijan. Pendanaan sangat penting ini untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia, hutan dan masa depan.
Untuk memperoleh pendanaan iklim itu, Ketua Yayasan Auriga Nusantara Timer Manurung mengingatkan kewajiban pemerintah Indonesia untuk menjaga hutan. Dia memaparkan bahwa laju deforestasi di Indonesia telah berlangsung lebih cepat dengan adanya industri ekstratif, proyek lumbung pangan (food estate) dan sebagainya. Data Yayasan Auriga Nusantara mencatat, deforestasi di Indonesia pada 2024 mencapai 261.575 hektare atau meluas 4.191 hektare dari tahun sebelumnya. “Indonesia harus segera menurunkan laju deforestasi jika ingin mendapatkan dana TFFF (Tropical Forest Forever Facility),” kata Timer.
TFFF adalah fasilitas pendanaan yang diinisiasi Pemerintah Brasil. Insentif diberikan kepada negara yang memiliki hutan tropis dan bisa menahan laju deforestasi di bawah 5 persen. Besaran insentif yang diberikan sebesar US$4 per hektare.
Kelompok masyarakat sipil juga mendesak pemerintah menghentikan solusi palsu dalam transisi energi seperti co-firing biomassa. Kelompok masyarakat sipil beranggapan praktik co-firing biomassa tidak efektif menekan emisi gas rumah kaca. Alih-alih mengurangi emisi, praktik co-firing biomassa justru meningkatkan emisi, mengancam eksistensi hutan karena kebutuhan palet kayu (wood palet) dan risiko ekologis.
Dalam pertemuan itu, kelompok masyarakat sipil juga memaparkan dampak penggunaan energi fosil seperti batu bara dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Hasil penelitian Trend Asia, CREA dan Celios, penggunaan batu bara di 20 PLTU telah berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat dan ekosistem pangan. Pembangunan PLTU Captive juga telah menyebakan kualitas udara buruk, sungai-sungai tercemar dan mematikan sumber-sumber pangan rakyat.
Lead Climate WWF Ari Mochammad mengatakan aspek ekonomi dalam pengelolaan perubahaan iklim dan sumber daya alam penting namun keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari prinsip keberlanjutan dan penerimaan masyarakat. “Penerimaan masyarakat secara utuh terhadap sebuah program akan menjadi faktor kunci keberhasilannya,” katanya.
Atas alasan itu, Ari mengatakan, narasi perubahan iklim perlu menempatkan pembenahan dan perbaikan tata kelola sebagai prioritas utama. Menurutnya, tata kelola yang baik akan memastikan ekosistem dan keanekaragaman hayati (biodiversity) tetap terjaga yang pada akhirnya memberikan manfaat langsung bagi masyarakat, sekaligus menghasilkan nilai tambah. “Artinya, perdagangan karbon seharusnya menjadi hasil (outcome) dari tata kelola dan konservasi yang baik, bukan menjadi tujuan utama yang mendominasi,” tegas Ari.
Isu penting kedua adalah bagaimana menempatkan agenda adaptasi pada posisi yang sama pentingnya dengan mitigasi. Dalam konteks risiko bencana dan ancaman perubahan iklim, fakta menunjukkan bahwa sekitar 97% bencana disebabkan oleh faktor hidrometeorologi. Dampak bencana ini sering kali meluluhlantakkan capaian pertumbuhan ekonomi; pendapatan yang seharusnya digunakan untuk pembangunan akhirnya terserap untuk pemulihan.
Isu ketiga berkaitan dengan tata kelola pendanaan perubahan iklim. Pemerintah perlu memastikan agar lembaga donor dan bantuan pembangunan mengalokasikan porsi pendanaan yang lebih besar untuk kegiatan berbasis masyarakat. Pendekatan ini akan lebih menjamin keberlanjutan, karena masyarakat memahami bahwa lingkungan dan ekosistem tempat mereka tinggal adalah sumber utama kehidupan sosial dan ekonomi mereka. (*)
====
Tentang JustCOP
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) adalah jaringan masyarakat sipil yang memperjuangkan tata kelola iklim berbasis hak dan demokratis, dengan menempatkan komunitas terdampak sebagai aktor utama perubahan.
Kontak Media:
Tim Komunikasi JustCOP
justcop@ariseindonesia.com


